detakidn.com – Sebuah Video reel IG berkelebat di beranda facebook,. Gesekan stringnya seperti hendak mengaramkan pendengarnya ke dalam duka penyesalan yang mendalam. Tetapi itu segera berubah ketika membaca komposisi ide yang dibawa. Ide-ide yang memantik api penalaran. Memercik tanya.
Bagaimana kehadiran Tuhan akan dijelaskan, sementara manusia berada dalam dimensi yang berbeda? Manusia bisa membayangkan kehadiran sesuatu hanya jika sesuatu itu pernah terlintas dalam pengamatan indra. Seluruh informasi manusia berbasis indra.
Ketika Tuhan dibayangkan seolah-olah berdiri gagah, ini sesuatu yang absurd dan cenderung antropomorfik. Tuhan itu realitas yang tidak mungkin diobservasi dan dijelmakan ke dalam bentuk apapun karena ia adalah realitas tak berhingga dan berada di luar jangkauan kapasitas manusia.
Tuhan tak terukur. Bahkan yang dapat diukur sekali pun harus mengenakan sesuatu yang sesuai. Ukuran yang kecil tidaklah mungkin muat pada sesuatu yang besar. Pakaian bayi tidak muat untuk sumo. Lantas bagaimana bisa Tuhan terkesan manusiawi sekali dan sangat maskulin pula? Tuhan ataukah amoeba yang sedang membelah diri?
Masih wajar jika wacana itu terjadi dalam strata perkembangan tertentu, misalnya di masa kanak-kanak. Masalahnya imajinasi tentang Tuhan telah mendarah daging dalam diskursus sufistik yang didominasi oleh siraman-siraman rohani yang tidak hanya absurd melainkan juga sarat pertentangan dalam ide-idenya.
Imajinasi macam itu tidak jauh beda dengan apa yang tertulis dalam Amos 7:7. “Inilah yang diperlihatkanNya kepadaku: tampak Tuhan berdiri dekat sebuah tembok yang tegak lurus, dan di tanganNya ada tali sipat.” Betapa Tuhan yang tak terbatas telah mereduksi dirinya sendiri ke dalam semesta yang sempit. Fantastis!
Meski begitu, mereka yang berlindung di balik kebesaran zirah absurditas tasawuf, kerap kali menggaungkan gagasan-gagasan keilahian yang naif dan imajinatif semacam itu, kadang untuk mendongkrak pamor mereka agar lebih terkesan pribadi yang sakral dan karenanya menjadi layak dikultuskan, setidaknya karena infantilistik.
Teologi Islam memang mengajarkan bahwa Tuhan itu mampu melihat dan mengawasi. “Alam ya’lam biannallāha yarā?” Bahkan dalam tuntunan ihsan terdapat prinsip pengawasan intensif Tuhan atas setiap diri manusia, yaitu “An ta’budallāha ka’annaka tarāhu, fa’in lam takun tarāhu fainnahū yarāka.”
Itu tidak berarti bahwa kemudian Tuhan harus bermanifestasi diri apalagi termanifestasikan oleh kita dalam suatu wujud tertentu yang lebih terbatas. Sebab kendati Tuhan maha kuasa untuk menjadi apa saja, melakukan apa saja, kekuasaan Tuhan tetap dibatalkan oleh sederet kemustahilan tertentu.
Akhirnya, barangkali kita patut menaruh curiga jangan-jangan nabi baru yang tengah viral menerima wahyu dan mendengar suara gaib memanggil-manggil dirinya juga mengadopsi imajinasi sufistik sebagaimana dalam reel IG? Suara-suara gaib tidak jarang juga mengahantui mereka yang didaulat sebagai waliyyun min awliyāillah.
Sumber Video : Reel Instagram at @wiindanabilaramadhan












